ARTIKEL MULTIKULTURAL
“Problematika Pendidikan
Multikultural di Indonesia”
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Multikultural
Dosen pengampu : Ika Yatri. M.Pd.
Disusun Oleh :
AGUNG AJI PUTRO...................... (1601025306)
NOVIA AULIANI............................ (1601025199)
TESA VIDIAWANTI....................... (1601025227)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019
ABSTRAK
Proses
pendidkan tidak terlepas dari stuktur sosial dan perkembangan masyarakatnya,
begitu juga pada pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikultural
merukpakan fenommena baru dalam dunia pendidikan, sehingga menjadi daya tarik
untuk diperbincangkan dalam forum-forum ilmiah seperti seminar, workshop,
simposium dan sebagainya. Artikel ini memaparkan proses dan jalan panjang dan
perkembangan pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Ada dua pendekatan yang
digunakan penulis dalam menganalisis perkembangan pendidikan multikultural di
Indonesia yaitu dengan pendekatan sinkronis dan pendekatan diakronis. Dalam
pendekatan sinkronis, ditemukan bahwa pendidikan multikultural di Indonesia
lahir dari perjalanan panjang yang terbagi menjadi tiga fase yaitu: Fase
segregasi pada masa kolonial, fase pendidikan yang bercorak melting pot
pada masa orde baru, dan fase pendidikan multicultural dengan semangat
demokrasi pada masa reformasi. Sedangkan pada analisis diakronis, pendidikan
multikultural yang ada di Indonesia sekarang ini tidak lepas dari sejarah
dimasa lampau, yaitu semboyan “Bhinneka Tunggal” sebagai politik
kebudayaan di jaman Kerjaan Majapahit dan Peristiwa reformasi yang melahirkan
demokrasi dengan menjujung tinggi persamaan hak pada setiap warga negara
khususnya dalam mengakses pendidikan.
A. PENDAHULUAN
Problematika
Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan
problema yang dihadapi oleh negara lain.
Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan
Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran
berbasis budaya. Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih
mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh
negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan
sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural
di Indonesia. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan Pendidikan
Multikultural di Indonesia ini.
B. KAJIAN TEORI
Pendidikan multikultural adalah
sebuah pendidikan yang lebih menekankan perbedaan sebagai dasar dari pembelajaran
sehingga dari proses tersebut diharapkan dalam diri peserta didik akan tumbuh
rasa saling menghargai dan menghormati antar sesama.
Definisi tersebut sesuai dengan
definisi yang diungkapkan oleh James Banks yakni “pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk people of color.”
Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
anugrah dari Tuhan. Kemudian menumbuhkan pemahaman seseorang dalam mensikapi
perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan tanpa membeda-bedakan seseorang
berdasarkan budayanya.
Dawam menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia
yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, agama, bahasa. Artinya pendidikan multikultural dilihat sebagai perkembangan
potensi manusia yang menghargai perbedaan.
Adapun Azra menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk/ tentang keberagaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Sehingga pendidikan
multikultural itu dapat diartikan sebagai pendidikan tentanh keberagaman budaya
yang merespon berbagai perubahan demografis lingkungan tertentu.
Selanjutnya, Yaqin menjelaskan
bahwa pendidikan multikultural adalah pendekatan pendidikan yang diaplikasikan
pada semua jenis mata pelajaran yang didasari atas perbedaan-perbedaan kultural
yang dimiliku peserta didik seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender,
kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan
mudah. Artinya pendidikan multikultural merupakan pendekatan yang dapat
diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran yang didasari atas berbagai
perbedaan budaya peserta didik.
Saat pembelajaran berlangsung,
peserta didik mendapat perlakuan yang setara tanpa memandang latar belakangnya.
Konsep pendidikan multikultural ditujukan untuk membekali peserta didik agar
dapat bertoleransi dan menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural merupakan jawaban yang tepat
untuk menjawab persoalan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh keragaman. Ngainun
Naim dan Achmad Sauqi menambahkan pendapatnya bahwa pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang menanamkan sikap saling menghormati, tulus dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang terdapat dalam masyarakat. Sehingga
pendidikan multikultural dapat menciptakan peserta didik yang memiliki sikap
saling menghormati, tulus, saling menghargai, dan bertoleransi tinggi terhadap
beragamnya busaya yang ada di Indonesia.
Berdasarkan definisi pendidikan
multikultural yang dikemukakan oleh beberapa pendapat ahli di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
menanamkan sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keragaman ras, etnis,
budaya, agama, bahasa, sosial, ekonomi, jenis kelamin sehingga dapat menerima
dan hidup bersama dalam keragaman tersebut tanpa menimbulkan permasalahan.
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang berasal dari ras, etnis,
budaya, agama, bahasa, kelas sosial ekonomi dan jenis kelamin yang berbeda
mendapat kesempatan yang setara dan adil untuk mengenyam pendidikan di sekolah
dan dalam pembelajaran.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan
mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang
harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai
berikut:
a. Perbedaan
Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan
pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural
sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka
ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan
pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan
multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa
pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis
yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu.
Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap
toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi,
tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
b. Munculnya
Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik
memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan
yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi
di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di
antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan
memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk
itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala
sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara
seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe
kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada
pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk
masuk ke jalur kontinuitas.
c. Rendahnya
Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan
multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen
yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit
untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal
tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung
pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk
melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki
terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis,
egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati
perbedaan.
d. Kebijakan-kebijakan
yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan
pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep.
Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada
keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak
lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan
orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan
mengakui keragaman dan perbedaan.
D. PEMBAHASAN
1. Problematika Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul
di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali,
Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai
berikut:
a.
Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik.
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal
yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka
budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik
dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar
budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok
budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang
terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman
identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa ? Keragaman
ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing
persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus
diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya.
Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat
terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di
dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya Pendidikan
Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal,
memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b.
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia
dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya
yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya,
terjadinyapergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar
terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan
yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh
kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal
masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal
dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu,
termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting
dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan
kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya
putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah
itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya
tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus
menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang
sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya
iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang
destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam
putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten
baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan
tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang
kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut
karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang
beruntung.
c.
Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan
“integrating force” seluruh
pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force.Saat ini Pancasila kurang mendapat
perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.
Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara
Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde
Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru
tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek,
perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua
hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada
hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun
dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan
kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk
menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang
kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa ini.
d.
Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang
salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah
yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala
fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air
ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak
menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik,
tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok
lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan
terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar
stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan
sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan
bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka
fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan
perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional
Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari
fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
e.
Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional
dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa
dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita
pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh
dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah
menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat
diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah
bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda
akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang
ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang
berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan
OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian
damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima
perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI
telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. Uraian
lebih lanjut mengenai Kampung Bhineka Tunggal Ika ini akan dibahas pada Unit 5.
Jelaskan mengapa nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua ? Persoalan budaya
apa yang melatar belakanginya ? Carilah di internet informasi mengenai hal ini.
f.
Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit
beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan
sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang
lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa
konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi
di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi
karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi
selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang
dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di
media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan
tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan
menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati
kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan
mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai
peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan
yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung
dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun
sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu
diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas
ini.
2. Faktor Penyebab Munculnya Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Berbagai kekerasan antar kelompok yang bergolak secara
sporadis seputar persoalan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) banyak
terjadi dan terus bermunculan di negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke terjadi
berbagai peristiwa berdarah. Di Aceh terjadi pergolakan yang bernuansa
separatis dan ingin memerdekakan diri melalui Gerakan Aceh Merdeka. Untunglah
masalah ini bisa diselesaikan dengan damai, namun masalah ini belum tuntas. Penyelesaian
damai ini menyisakan masalah yang masing harus dituntaskan dengan arif.
Peristiwa di atas hanyalah beberapa peristiwayang terbuka dan menimbulkan
korban nyata, belum lagi peristiwa lain yang masih mengancam negeri ini.
Faktor-faktor yang melatar belakangi semua pertikaian di
tanah air itu disebabkan antara lain:
a.
Kuatnya prasangka, etnosentrisme, stereotip dan diskriminatif antara
kelompok.
b.
Merosotnya rasa kebersamaan dan persatuan serta saling pengertian.
c.
Aktivitas politis identitas kelompok/daerah di dalam era reformasi.
d.
Tekanan sosial ekonomi.
Dari semua faktor di atas,
semuanya bertitik tolak dari kenyataan yang tak bisa ditolak, bahwa negara-bangsa (nation-state) Indonesia
terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga
negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
"multikultural". Semua kondisi itu memang indah dan menjadi kekayaan
budaya, tetapi kondisi itu rentan terhadap adanya perpecahan.
Realitas
"multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat
menjadi"integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya.
Lebih dari tiga dasawarsa,
kebijakan yang sentralistis dalam bentuk “mementingkan kepentingan nasional”
yang terimplementasi berupa pengamanan yang ketat terhadap isu “kedaerahan”
telah mengabaikan kemampuan masyarakat mengatasi masalah tersebut secara
terbuka, rasional, beradab dan damai. Sementara itu pemberian kewenangan yang
terlalu besar pada daerah tanpa kesadaran kebangsaan dan kesadaran
multikultural sering menimbulkan berbagai gejolak di tanah air ini.
3. Cara Mengatasi Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural merupakan suatu tuntutan
pedagogis (pendidikan) dalam rangka
studi kultural yang melihat proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Multikultural adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar
warga masyarakat. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata
nilai berbeda, yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya
perbedaan itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar,
baik, dan berkembang. Pada ranah pendidikan adanya perbedaan tersebut dapat
menimbulkan adanya suatu gesekan yang menjadi problema dalam proses belajar
mengajar.
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam
masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan
masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, dalam
mengatasi segala problematika masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara
sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam
pembelajaran adalah proses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki
realitas masyarakat tersebut, perlu dimulai dari proses pembelajaran.
Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan
menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Pendidikan multikultural
merupakan proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai
perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman
tatanan kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural ditengarai menjadi alat
pengakomodasi yang efektif, salah satu contohnya dalam menghadapi problema
masalah perbedaan etnik atau budaya pada proses pembelajaran. Pada realitas
pendidikan multikultural,siswa dihadapkan pada konsep-konsep yang berbeda.
Konsep-konsep tersebut diantaranya konsep hidup sukses, sistem keyakinan,
mengajak siswa masuk kedalam semangat budaya lain, melihat dunia dengan cara
yang dilakukan orang lain dan menghargai segala kekuatan dan keterbatasannya.
Pendidikan multikultural juga mengolah kemampuan yang lebih halus melalui moral
dan budi pekerti, kerelaan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang orang
lain, dan kerelaan untuk mendengar orang lain dengan simpati dan sensitif.
Pendidikan multikultural hendaknya mampu menanamkan
kesadaran diri siswa bahwa mereka anggota komunitas etnik dan kultural, warga
dari komunitas politik, dan juga bagian dari manusia secara umum. Selain itu,
sistem pendidikan multikultural dapat membantu siswa memahami sejarah, struktur
sosial, budaya, bahasa, dan agama dalam komunitas kultural dan politik agar
mereka dapat memahami diri sendiri secara lebih baik dan menemukan jalan di
sekitar komunitas tersebut.
E.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pendidikan multikultural adalah
usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang
mempelajari tentang berbagai macam status sosial,ras,suku,agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Problema yang ada di masyarakat
Indonesia adalah sebagai berikut: Keragaman Identitas Budaya Daerah, Kurang
Kokohnya Nasionalisme, Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara
Kelompok Budaya, Fanatisme Sempit, Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural.
F. DAFTAR PUSTAKA
Sutarno. 2007. Pendidikan
Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Nasional.
Machfud, Choirul. 2006. Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.